Allahu Akbar… Allahu Akbar.. Allahu Akbar.. takbiran sekelompok masyarakat membawa puluhan obor berjalan kaki disebelah mobilku. Aku, Suami dan kedua anakku memperlambat laju mobil untuk melihat keramaian tersebut.
Maha besar Allah.. Sungguh pemandangan yang indah. Hatiku sangat tersentuh. selama 30tahun aku hidup baru kuliat secara langsung pemandangan indah ini. terlihat mereka begitu kompak berjalan bersholawat menepukkan barang-barang membentuk suatu iringan yg selaras dengan takbirnya.
Keramaian tersebut berangsur angsur menghilang karena mobil kami kembali melaju melanjutkan perjalanan kami untuk membeli susu pertama bagi anak kami yang kedua. Aku sambil bercerita pada suamiku “Tepat 3 tahun Yah.. (Yah adalah Ayah, panggilan sayangku pada suamiku) tepat 3 tahun aku mengenakan jilbab”
3 tahun yang lalu aku sholat id bersama mama dari suamiku atau istilah sekarang adalah bumer (ibu mertua). Saat itu tahun pertama pernikahan kami dan saat itu aku masih tinggal nomaden. dari rumah mamaku dan berpindah dirumah mertua. dan kami sepakat saat itu sholat disana.
Saat itulah, dipertengahan sholat, aku mendengar suara imam bagaikan suara Ayahku, lirih membacakan ayat ayat Al Qur’an. dan tiba tiba membuatku meneteskan airmata. Pikiranku berlari jauh kemasa masa kecilku, kemasa remajaku, mengingat seseorang yang biasa ku nomer duakan, yaitu Ayah. karena memang selama ini dan selamanya ibu adalah nomer satu bagi ajaran agama kami.
Suara Ayahku nampak sangat jelas mendampingiku, membacakan ayat – ayat Al Qur’an. Bagaikan beliau menjadi imamku di sholat Id ku. Dengan mata terpejam aku mengikuti setiap arahnya. Aku merasakan Ayahku yang cukup keras mendidik kami supaya menjadi anak yang patuh pada ibuku, supaya menjadi anak yang hormat pada kedua orang tua, menjadi anak yang pintar memiliki nilai – nilai akademis yang baik, memiliki perilaku yang sopan dan ramah pada orang lain.
Semua tak luput dari didikan ibu dan kerasnya Ayahku. Namun, aku kembali berpikir apa sebenarnya yang dilakukan Ayahku? mengapa aku merasa Ayahku keras? sementara selama betahun tahun Ayahku sama sekali tidak pernah memukulku, bahkan sekalipun tidak pernah mencubitku. Sentuhan fisik sangat jarang aku rasakan terkecuali salim berpamitan, mencium pipi disaat sayang, pijatan kuat disaat aku lelah, atau pelukan hangat saat tradisi sungkeman di Hari Raya.
Mengapa ada rasa takut pada Ayah?
Mengapa ada rasa Ayah begitu keras?
Mengapa rasa itu begitu kuat namun hanya terasa berlaku bila aku berbuat salah.
Apa yang membuat Ayahku keras?
Aku menangis berurai air mata dan terisak, Aku kangen dengan Ayah.
Beliau tidak pernah keras secara fisik, namun hanya suara beliau yg keras, berintonasi tinggi dikala kami anak-anaknya berbuat salah. Memang disaat Ayahku marah pernah hempasan barang yg menjadi korban namun tetap itu hanya dilemparkan ke lantai. Tidak menyakiti kami, Sungguh.
Ayah.. Aku menangis.
Semilir angin mengeringkan airmataku. Hempasan angin kembali menggerakkan mukenaku. Tidak terasa dingin walaupun aku sholat ditengah jalan yang luas. Disisi kananku ibu mertuaku khusuk melaksanakan sholat. Disisi kiri, depan, dan belakangku semua tetap dalam khusyuknya melaksanakan sholat Id. Aku merasakan jamaah muslim ini yang melindungiku dari gemuruh Angin. Putih bersih mereka berbalut Mukena. Terlihat rapi gerakan gerakan sholat dilakukan bersama.
Hatiku rasanya terbuka sampai sebuka bukanya. Dingin. Aku merasakan bebas. Aku berkipir ingin menutup semua bagian tubuh ini. Auratku… Mungkin ini yang namanya IKHLAS. Begitu hangat tapi dingin. Semua terasa begitu Sejuk. ditemani iringan suara Ayahku.
Aku ikhlas menutup auratku. menggunakan jilbab.
Alhamdulillah..
Setelah Sholat kami berdekapan dengan kedua orang tua Suamiku, mengunjungi kedua orangku. Tak Sabar aku melihat wajah Ayahku Ibuku. Alhamdulillah kutemui mereka dengan jilbabku. Dengan hatiku yang bersih. Membuka lembaran baru dalam hidupku.
Mohon maaf lahir batin Ayah Ibu.
Bapak Mama begitulah aku memanggil mereka. Aku sangat, sangat sayang dan mencintai Mama Bapak. Maafkan anakmu ini sangat banyak salahnya. Sampai kapanpun. Aku berusaha berikan yang terbaik dan tetap maafkan aku yang tak luput dari kesalahan. Aku akan selalu berusaha menjaga lisan dan perbuatanku.
Peluklah mereka selagi mereka masih ada. Hubungi mereka karena pasti hanya kabar darimu yang mereka tunggu. Doakan mereka disetiap ibadahmu seperti mereka mendoakanmu sepanjang hidupnya.
Salam hangat,
Dewi Adikara
Semoga ayah dan ibu selalu sehat 🙂
LikeLiked by 1 person
Amiiin..amiiin.. makasi ya mb Tikha:-)
LikeLike
Bahasamu selalu puitis mel.. Bagus klo bikin novel.. 😊
Selamat Idul Adha..
LikeLiked by 1 person
Selamat idul adha jg ne.. jd novelis donk:-)
LikeLike
Ahh mbak Mel buatku nangis inget alm papa… Buat kita papa selalu jd Hero ya..
LikeLiked by 1 person
iya mb.. aq turut berdoa smg alm papa sampeyan bahagia n bangga dg anak2nya.. Amin.. smg bahagia disisiNya..
LikeLike